Sabtu, September 20, 2003

Guru Besar Luar Biasa Yang Imam

Atau Imam Luar Biasa Yang Guru Besar




Menanggung Salib Suci Kristus tak hanya berat secara pribadi, namun juga berat secara sosial. Setidaknya begitulah yang dirasakan Prof. Dr. J. Glinka SVD. Selama lebih dari 70 tahun perjalanan hidupnya dipenuhi dengan karunia iman dan pergulatan dengan soal-soal kemanusiaan. Karya-karyanya tak hanya menyentuh altar dan gereja, melainkan juga meramaikan dunia ilmiah. Bahkan sentuhan tangan Imam Katholik dari ordo SVD ini banyak menghangatkan hati dan menyejukkan pikiran orang-orang di sekitarnya, baik mereka yang seiman maupun bukan.

Dan demi melihat keteguhannya memperjuangkan soal-soal kemanusiaan, maka 5 Oktober 2002 nanti bakal diselenggarakan seminar oleh para Doktor yang telah dibesarkannya untuk merayakan Hari Ulang Tahun ke-70 Romo berjanggut lebat ini. Bagaimanakah kisahnya sampai bisa menjadi Guru Besar Luar Biasa di Universitas Airlangga. Dalam pondokannya di dalam asrama SVD di Jl. Dr. Soetomo 9 Surabaya, sosok gendut yang biasa disapa wujek (Polandia = Om, Paman; Red.) ini menuturkan kisah perjalanan karya-karyanya.



Bisakah Romo menceritakan sedikit mengenai ihwal diri Romo sendiri?

Ah...sebenarnya anda bisa membaca ini (menyerahkan lembar proposal seminar tersebut di atas). Di situ anda bisa temui orang bercerita bohong (baca mengelu-elukan, Red. - sambil tersenyum simpul) mengenai saya. Kalau menurut cerita itu, seharusnya sekarang saya sudah menerima Nobel...hahaha. Tapi begini, kita bisa mulai dari sini (mimiknya serius dan lucu jadi satu).

Lepas sekolah menengah tahun 1957 saya masuk seminari dan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi di Polandia. Tahun 1959 saya lulus dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi saya melanjutkan kuliah di universitas dengan penjurusan biologi manusia atau di sini orang sebut antropolgi ragawi. Tahun 1964 saya selesaikan kuliah dengan gelar Master, kemudian menjadi guru biologi dan kimia. Kemudian tahun 1964 di Polandia datang seorang pastor, yakni Romo Josef Diaz Viera yang lama sebelumnya bertugas di Indonesia. Beliau meminta sejumlah pastor untuk bertugas di Indonesia. Waktu itu saya langsung melamar. Waktu itu sebenarnya saya tidak boleh berangkat karena tenaga saya masih dibutuhkan di sana, selain situasi Indonesia yang rawan konflik.



Kenapa Romo begitu berminat bertugas ke Indonesia?

Saya sendiri memang punya sentimen (perasaan tertentu yang menyenangkan, red.) terhadap Indonesia. Sejak umur 6 tahun saya biasa mendengar kabar tentang Indonesia dari seorang sepupu dari bapak saya yang telah menjadi misionaris di Flores. Dari sepupu itu saya sering mendengar cerita-cerita indah alam dan lingkungan sosial di sini. Dan jadilah saya berangkat ke Indonesia, mendarat di Flores tahun 1965 untuk mengikuti

kursus bahasa.



Apakah Romo mengalami kesulitan untuk kursus bahasa itu?

Tidak, sebelumnya saya sudah biasa mempelajari bermacam bahasa. Bahasa Latin wajib kami kuasai semasa kuliah. Bahasa Jerman dekat dengan orang Polandia, karena kami pernah dijajah oleh Jerman. Bahasa Inggris tentu saja harus dikuasai oleh mereka yang harus berangkat ke luar negeri. Bahasa Polandia sendiri mempunyai dialek yang paling banyak dari bahasa-bahasa besar Eropa lainnya. Banyak dialek kami yang sulit dicari padanannya dalam bahasa lain. Jadi, belajar Bahasa Indonesia tidak ada masalah buat saya.



Setelah itu Romo bertugas di Flores?

Ya. Bulan Maret 1966 saya mulai mengajar filsafat alam hidup dan antropologi yang lebih cenderung pada antropologi budaya di STFT Katolik di Flores. Sekitar Desember 1966 saya mengerjakan penelitian di Pulau Palue Nusa Tenggara Timur. Hasil penelitian di sana saya jadikan bahan untuk disertasi berjudul Asal Mula Orang Palue Ditinjau Dari Segi Morfologi-Komparatif (perbandingan bentuk badan manusia, red). Akhir tahun 1968 saya pergi ke Polandia untuk mengikuti kuliah Doktorat. Pada 30 Juni 1969 saya lulus ujian Doktor. Kembali ke Indonesia agak tertunda yakni sekitar 1971 karena sakit dan musti menunggu visa baru.

Yang menarik, yang beri visa pada saya waktu itu adalah adiknya Pak Tandyo (Prof. Soetandyo Wignyosoebroto MA, Guru Besar FISIP Unair, Red) yang menjadi konsulat di sana. Dia tanya pada saya 'Mau ke Indonesia?' saya jawab, 'Ya.' Dia tanya lagi, kalau ke Indonesia lewat Jawa. Ya, tentu saja toh. 'Saya punya kakak di Surabaya, di Unair', katanya. Lalu dia sebut nama Pak Tandyo, tapi waktu itu saya belum kenal Pak Tandyo. Waktu itu saya lebih banyak kenal orang-orang kedokteran (Fakultas Kedokteran Unair, Red).

Kemudian tahun 1974 - 1975 saya dapat stipendium, beasiswa, dari Humboldt Fundation untuk membuat studi di sana. Tahun berikutnya kembali ke Flores, setahun untuk urus visa. Hasil studi itu kemudian menjadi buku, ini dia (mengangsurkan sebuah buku tebal berbahasa Jerman; Gestalt und Herkunft: Beitrag Zur antrhopologischen Gliederung Indonesiens, terbitan Studia Instituti Anthropos, 1978).



Buku itulah yang kemudian hari mengantarkannya menjadi Guru Besar Luar Biasa bidang Antropologi Ragawi di FISIP Unair. "Padahal, kalau di Polandia orang masih harus mengikuti ujian dulu sebelum menjadi guru besar," ungkap Romo Glinka.



Tahun berapa Romo mulai menjadi Guru Besar Luar Biasa ini?

Saya diminta sekitar 1984. Setahun kemudian baru saya pindah dari Flores ke universitas (Airlangga, Red). Para pembesar bilang membantu (jurusan, red) antropologi yang masih baru itu untuk sementara waktu.

Sebenarnya waktu itu saya sudah ditawari menjadi Guru Besar di sebuah universitas di Jerman, tapi karena saya lebih cinta Indonesia...hahaha.



Bagaimana kesan Romo selama menjadi Guru Besar Luar Biasa ini?

Wah, anda ini...Kesan baiknya...saya senang bisa mencerdaskan bangsa (maksudnya generasi, Red) muda. Tapi kadang ada juga yang menjengkelkan dan mengecewakan. Banyak, banyak hal tak perlu kita sebut satu-satu. Dan sebagai balas jasa, sekitar 1995 saya akan diusir dari universitas (Airlangga, Sus.). Karena kerja orang-orang dari kelompok tertentu, heran...bahwa kampus jadi tempat orang berpolitik, hei...Waktu itu saya langsung ditawari oleh Ubaya, UI dan sebuah universitas di Polandia untuk menjadi Guru Besar di sana. Saya menyesal bahwa saya tidak segera mengiyakan saja dulu untuk segera keluar dari universitas. Kalau sekarang saya tinggal tunggu saja, kalau mereka bilang saya harus keluar maka saya akan keluar saat itu juga.



Kenapa baru sekarang Romo siap keluar?

Dulu saya belum siapkan orang untuk menggantikan saya. Sekarang sudah ada 3 orang (Doktor, Red) yang siap menggantikan saya. Mita, Lucy dan Totok (Toetik Koesbardiati, Red) sudah selesai kuliah S3 semua dengan kekhususan antropologi ragawi. Ini sesuai perkiraan saya sekitar awal 1990-an. Rektor waktu itu, Sudarso, saya ultimatum atau saya mendapat asisten atau saya keluar. Saya juga bilang, sedikitnya perlu 10 tahun mempersiapkan orang untuk menggantikan saya. Persis toh, sepuluh tahun kemudian sekarang ini mereka sudah mendapat gelar doktorat.



Mita, Lucy, dan Totok yang dimaksudkan oleh Romo Glinka sebenarnya para mahasiswa S1 di bawah bimbingan beliau sebelumnya. Kemudian mereka masing-masing berangkat ke luar negeri, untuk melanjutkan jenjang pendidikannya atas promosi Romo Glinka untuk mendapatkan beasiswa baik dari Universitas Airlangga maupun dari pihak luar. Mita yang sekarang menjadi

Dosen di Jurusan Antropologi FISIP Unair, melanjutkan pendidikannya di

Amerika untuk S2 dan selanjutnya ke Universitas Adellaide - Australia untuk menyelesaikan pendidikan S3-nya. Lucy atau Dra. Lucy Dyah Hendrawati, M.Si melanjutkan studi S2 di Universitas Gajah Mada. Sedang Totok yang bernama lengkap Dr. Toetik Koesbardiati mendapatkan gelar Master dan Doktornya di Hamburg, Jerman. Romo Glinka semula berpikir bahwa Totok bakal melanjutkan kuliah sampai mendapatkan gelar Master saja. Di luar dugaan Totok justru meneruskannya sampai S3.

Ketiga orang murid Romo Glinka itu juga yang sedianya akan menjadi panitia penyelenggara perhelatan bertajuk Seminar Sehari Memperingati HUT ke-70 Prof. Dr. Josef Glinka, SVD tersebut. Barangkali ini merupakan bentuk penghargaan yang diberikan murid kepada seorang gurunya. Bagi mereka Romo Glinka adalah sosok misionaris Katolik yang tegar dan ilmuwan yang tidak berkacamata kuda. Romo Glinka menurut mereka memiliki wawasan cukup luas di luar bidang keilmuannya.

Tak hanya itu, Romo Glinka juga telah banyak membantu sejumlah besar mahasiswa dan umat Katolik yang tengah menghadapi kesulitan. Beliau tidak segan-segan mengeluarkan bantuan yang bisa jauh lebih besar dari gajinya sebagai Guru Besar Luar Biasa di Universitas Airlangga.



Apakah ada universitas lain yang sudah menawari Romo untuk menjadi Guru Besar di sana?

Saat ini saya sudah mulai tidak berpikir untuk mengajar di tempat lain. Tapi, ada kejadian menarik tahun lalu. Waktu itu pihak UWM membujuk-bujuk saya supaya menjadi Rektor di universitasnya. Beruntung (entah apa maksud beliau tepatnya, Sus.) saya WNA...hahaha. (Lagi-lagi senyum lebar dan mata kelinci beliau datang menyejukkan pikiran.) Jadi, tidak bisa jadi rektor di sini, toh.



Bagamana mengenai fasilitas di universitas (Airlangga, Sus.)?

Hahaha....anda ada-ada saja. Itu pertanyaan bagus. Pater Pikorh punya pendapat bagus soal kedudukan dan gaji saya. Katanya, 'kamu memang benar-benar seorang Guru Besar Luar Biasa.' (Romo Glinka merentangkan tangannya lebar-lebar.) Untuk seorang Guru Besar Luar Biasa mereka beri saya Rp. 420 Ribu. Bisa buat apa di Surabaya dengan gaji sebesar itu? Hahaha...Tapi sudahlah. Bangsa kita memang masih susah.



Beruntung bahwa banyak kolega Romo Glinka yang sangat memperhatikan keadaan beliau. Namun beliau sendiri tidak pernah mengharapkan bantuan dari orang lain seperti itu. Selain mengajar di FISIP Unair, Romo Glinka juga mengajar secara luar biasa di Fakultas Kedokteran Gigi dan Program Pasca Sarjana di Universitas yang sama. Belum lagi, beliau pun memiliki satu kemampuan untuk mendeteksi arus air bawah tanah secara ilmiah dan sering dimintai orang-orang yang mengenalnya untuk mendeteksi letak arus air bawah tanah. Romo Glinka juga pernah menulis dalam sebuah media mengenai medan geopatis dan pengaruh serta bentuk-bentuknya.

Salah satu medan geopatis yang bisa mengganggu, bahkan merusak, kesehatan adalah arus air bawah tanah. Romo Glinka juga tahu benar cara mengatasi masalah ini.

Benar seperti kata ketiga muridnya di atas bahwa Romo Glinka merupakan sosok Imam dan ilmuwan yang telah banyak memberikan kontribusi besar dalam hal diversitas pengembangan keilmuan, dan tetap tegar dalam memenuhi panggilan hidupnya hingga usia ke-70 ini. Benar juga bahwa Romo Glinka sering dibuat kesal oleh tingkah banyak pihak di negeri ini, termasuk sebagian anak bimbingan rohaninya.huehuehue